HUKUM TAKBIR BERSAMA-SAMA DENGAN SATU SUARA
Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta
Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta ditanya : Kami menginginkan dari anda penjelasan terntang hukum takbir pada hari-hari tasyriq dan ied Ramadhan dengan cara bersama-sama, seperti Imam membaca pada setiap shalat.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaha Illallah Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahilhamdu
Lalu jama’ah mengulangi dengan satu suara yang tinggi dan lagu. Hal ini mereka mengulang-ulangi tiga kali tiap-tiap seusai shalat selama tiga hari. Perlua diketahui, bahwa amalan itu tersebar di sebagian kampung di berbagai penjuru provinsi.
Jawaban
Takbir di syariatkan pada malam Iedul fithri dan Iedul adha dan setiap sepuluh Dzulhijjah secara mutlaq (umum). Juga setelah setiap shalat dari fajar hari Arafah sampai akhir hari-hari tasyriq, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan hendaklah kamu mecukupkan bilangan dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadmu” [Al-Baqarah : 185]
Dan firman Allah
“Artinya : Dan berdzikirlah (dengan menyebutt) Allah dalam beberapa hari yang berbilang” [Al-Baqarah : 203]
Dan telah dinukil dari Imam Ahmad, bahwa ia ditanya : “Hadits apa yang anda pegangi sehingga beranggapan, bahwa takbir dimulai dari shalat fajar hari Arafah sampai akhir hari-hari tasyriq?” Dia menjawab, “Dengan landasan ijma (kesepakatan ulama)”.
Tapi takbir bersama dengan satu suara tidak disyariatkan. Bahkan cara itu merupakan bid’ah. Karena telah sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada pada urusan agama kami ini tanpa ada landasannnya, maka hal itu tertolak”.
Amalan itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf Ash-Shalih, baik dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in maupun tabi’i-tabi’in. Padahal mereka itu sebagai teladan. Yang wajib ialah ittiba (menuruti dalil) serta tidak ibtida (mengada-ada) terhadap agama ini.
Dan kepada Allah-lah kita mengharapkan taufiq. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepad nabi kita Muhammad, para keluarganya serta para sahabatnya.
[Fatawa Lajnah Da’imah 8/311-312 No. 9887]
—————————————————————————————————–
Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta ditanya : Telah sah bagi kami bahwa, takbir pada hari-hari tasyriq merupakan sunnah. Maka, benarkah jika imam takbir lalu orang-orang mengikuti dari belakang ? Atau apakah setiap orang takbir sendiri-sendiri dengan suara pelan atau keras?
Jawaban
Setiap orang takbir sendiri dengan suara keras. Karena sesungguhnya tidak ada hadits yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang takbir bersama-sama, dan beliau telah bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada pada urusan agama kami ini tanpa ada landasannnya, maka hal itu tertolak”.
Dan kepada Allah-lah kita mengharapkan taufiq. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepad nabi kita Muhammad, para keluarganya serta para sahabatnya.
[Fatwa Lajnah Da’imah 8/310 No. 8340]
—————————————————————————————————————–
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Di sebagian tempat, pad hari ied sebelum shalat, imam takbir dengan microphone dan orang-orang yang hadir mengikutinya. Bagaimana hukum alaman ini ?
Jawaban
Cara takbir yang disebutkan oleh penanya tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Adapun menurut sunnah (ajaran) Nabi setiap orang bertakbir sendiri.
[Fatawa Arkanul Isam, hal 399]
——————————————————————————————
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimanakah hukum takbir bersama-sama pada hari-hari ied ? Dan bagaimanakah ajaran sunnah dalam bertakbbir ?
Jawaban
Yang nampak (benar), bahwa takbir bersama-sama pada hari-hari Ied tidaklah masyru. Ajaran sunnah dalam takbir ini, ialah setiap orang bertakbir dengan suara yang keras. Masing-masing bertakbir sendiri.
[Al-Kalimaat An-Nafi’aat Haula Ba’dli Al Bida’i wa Al-Munkarat Al-Waq’ah hal.26]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VI/1423H/2003M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2011/slash/0
DARI ALBI FITRANSYAH
UMAT ISLAM SELURUH DUNIA, GUNAKANLAH RUKYAT KOTA
KONSEP RUKYAT KOTA YANG TERINTEGRASI SELURUH KOTA-KOTA DI DUNIA
Assalamu’alaiukum.
Saya seorang pengamat astronomi & seorang matematika.
Berdasarkan pemahaman saya & kesepakatan dari ahli astonomi muslim , bahwa ada beberapa ketentuan internasional mengenai penanggalan islam , yaitu:
1. Rukyat hilal
adalah dasar pergantian bulan-bulan qamariyah.
2. Pola pergerakan Bumi, Bulan, dan Matahari telah menyebabkan belahan Bumi yang pertama kali mengalami rukyat hilal selalu berubah-ubah setiap bulan.
3. Umur bulan qamariyah secara syar’i adalah 29 atau 30 hari.
4. Umur tanggal adalah setara dengan umur hari, yakni 24 jam , karena tidak logis ada tanggal yang umurya hanya beberapa jam saja atau adanya keragu-raguan, sebanarnya setelah lewat maghrib, masih tanggal berapa sih? Apa sudah tanggal baru atau masing tanggal lama.
5. Saat pergantian tanggal di dalam kalender qamariyah adalah pada waktu ghurub Matahari .
Dalam Muktamar ke-30 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Lirboyo tahun 1999, rukyat internasional menjadi salah satu agenda bahasan Bahtsul Masail Diniyah. Permasalahannya adalah apakah boleh penentuan awal bulan qamariyah atau hijriyah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, didasarkan atas rukyat internasional?
Dengan pendekatan fiqh, muktamirin memutuskan bahwa penggunaan rukyat internasional untuk penentuan awal bulan qamariyah dengan mengenyampingkan batas-¬batas matla’ tidaklah dibenarkan.
Di dalam wacana fiqh, jawaban untuk masalah ini diwakili oleh dua teori, yakni teori ittifaq al-Matali’ yang disusun oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, dan teori ikhtilaf al-Matali’ yang dibangun oleh mazhab Syafi’i. NU, sebagai ormas keagamaan Islam yang akrab dengan belukar pemikiran fiqh mazhab Syafi’i, tentu saja condong berpegang pada teori ikhtilaf al-mntali’.
Menurut teori ittifaq al-Matali’, peristiwa terbit hilal yang dapat dirukyat dari suatu kawasan Bumi tertentu mengikat seluruh kawasan Bumi lainnya di dalam mengawali dan menyudahi puasa Ramadhan. Dasarnya ialah bahwa sabda Nabi Muhammad SAW: Sumu liru’yatihi… (berpuasalah kalian karena melihat hilal), itu ditujukan untukseluruh umat secara umum, sehingga apabila salah seorang dari mereka telah merukyat hilal, di belahan Bumi mana pun ia berada, maka rukyatnya itu berlaku juga bagi mereka seluruhnya.
Sedangkan menurut teori ikhtilaf al-Matali’, rukyat hilal itu hanya berlaku untuk kawasan rukyat itu sendiri dan untuk semua kawasan lainnya yang terletak di sebelah baratnya. Sedangkan untuk sebelah timurnya, rukyat hilal itu hanya berlaku bagi kawasan yang berada di dalam atau tidak melampaui ¬batas matla’.
Rukyat di suatu kawasan, menurut teori ini, tidak dapat diberlakukan untuk seluruh dunia karena, pertama, berdasarkan riwayat Kuraib yang ditakhrij oleh Imam Muslim, bahwa Ibnu Abbas yang tinggal di Madinah menolak berpegang pada rukyat penduduk Syam kendati telah diisbat oleh khalifah Mu’awiyah. Ibnu Abbas mengemukakan alasan, Hakadza Amarana Rasulullah (Begitulah Rasulullah menyuruh kami). Kedua, adanya perbedaan terbit dan terbenam Matahari di pelbagai kawasan di Bumi menyebabkan tidak mungkin seluruh permukaan Bumi disamaratakan sebagai satu matila’.
Karena “ajaran” perbedaan matla’nya inilah, teori ikhtilaf al-Matali’ dengan mudah dipersepsi sebagai biang terjadinya perbedaan hari dalam memulai maupun mengakhiri puasa Ramadhan di berbagai kawasan di Bumi. Bahkan, lebih jauh, teori ini pun kemudian dituding sebagai pemicu perpecahan umat
Maka, dalam beberapa tahun terakhir ini muncul di kampus-kampus gerakan untuk memasyarakatkan teori ittifaq al-Matali’ (kesatuan matla’ intemasional) yang diharapkan menjadi jurus pamungkas pemersatu awal dan akhir Ramadhan di seantero dunia. Malah bila perlu, untuk menuju kesatuan waktu ibadah tersebut kaum muslimin digalang untuk bersatu di bawah satu kepemimpinan Islam sejagat (khilafah).
Tapi persoalannya, logiskah perintah Nabi SAW, Sumu liru’yatihi… itu difahami sebagai dalil yang menghendaki berlakunya rukyat secara intemasional? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihatnya dengan pendekatan yang proporsional.
Pertama, kiranya kita sepakat bahwa hadis kandungan di atas adalah petunjuk tentang penentuan waktu memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan. Karena berkenaan dengan waktu, maka pemahaman akan implementasinya haruslah menggunakan logika sistem perjalanan waktu, bukan logika pengertian bahasa.
Kedua, sunnatullah tentang sistem perjalanan waktu di Bumi adalah bersifat setempat-setempat (lokal), tidak bersifat global. Waktu di Bumi mengalir dari timur ke barat sejalan dengan aliran siang dan malam. Kawasan di timur mengalami syuruq dan ghurub Matahari lebih dulu daripada kawasan di barat. Semakin jauh jarak barat-timur antar kedua kawasan, semakin besar beda waktu antara keduanya. Maka, orang yang melakukan perjalanan jauh, melepaskan diri kawasan tinggalnya, akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan beda waktu.
Dengan begitu, semua waktu yang disebut di dalam dalil-dalil syari’at logisnya adalah dipahami sesuai logika sistem perjalanan waktu di Bumi yang bersifat setempat-setempat itu. Kalau pada saat ghurub Matahari di Indonesia hilal belum bisa dirukyat, adalah tidak logis kalau kita kemudian mengikuti rukyatnya orang Mekah. Sama persis tidak logisnya dengan memahami masuknya waktu Zuhur untuk Indonesia pada kira-kira pukul 4 sore karena mengacu pada “tergelincir Matahari” nya Mekah, atau pada kira-kira pukul 10 pagi karena mengikuti “tergelincir Matahari”nya Tokyo.
Kasus:
a. Dalam kaitannya dengan penampakan hilal, di Indonesia pada tanggal 11 Oktober 2007 terdapat 2 daerah yang dipisahkan oleh sebuah garis, sebut saja garis batas wujdul-hilal untuk mudahnya(lihat gambar).
b. Daerah sebelah barat garis batas wujdul-hilal dipastikan (insya Allah) hilal sudah dapat dilihat.
c. Daerah sebelah timur garis batas wujdul-hilal dipastikan (insya Allah) hilal belum dapat dilihat.
Dengan demikian bila rukyat dilakukan di Jakarta (sebelah barat garis batas wujdul-hilal) pada tanggal 11 Oktober 2007 di waktu magrib, maka hasilnya menyimpulkan bahwa besoknya (tanggal 12 Oktober 2007) adalah 1 Syawwal 1428 H. Tetapi kalau rukyat itu dilakukan di Samarinda atau Menado atau Ambon yang letaknya di sebelah timur garis batas wujdul-hilal maka hasilnya, insya Allah, menyimpulkan bahwa besoknya (tanggal 12 Oktober 2007) belum 1 Syawwal.
Butir kedua prinsip kesatuan wilayatul-hukmi essensinya mengatakan bahwa Muhammadiyah menganut prinsip “hanya ada satu Lebaran untuk satu negara”. Prinsip ini nampaknya dianut juga oleh kubu rukyat dan kubu Pemerintah. Buktinya, sepanjang sejarah kubu-kubu ini tidak pernah menetapkan dua daerah Lebaran di Indonesia. Catatan: Dua wilayah hari Raya tidak sama dengan hari Raya ganda. Hari Raya ganda maksudnya ada dua hari Raya untuk satu tempat.
Isu Utama dan Isu Minor
Sepanjang pengamatan kami, ada isu yang dihembuskan sebagai isu utama sebagai sumber perbedaan dalam menyimpulkan akhir/awal Ramadan, yaitu masalah definisi hilal. Isu ini minor karena kesepakatan dapat dilakukan dengan mudah jika kedua pihak-pihak yang berbeda pendapat ini keluar dan melihat hilal secara langsung dan sepakat benda itulah yang disebut hilal. Isu yang lebih utama lagi sebenarnya adalah prinsip kesatuan wilayatul hikmi. Secara kenyataan bahwa Indonesia tahun ini akan mempunyai dua zona penampakan hilal. Ini akan menimbulkan persoalan bukan saja bagi kubu hisab tetapi juga kubu rukyat kalau metodanya menggunakan prinsip kesatuan wilayatul hukmi. Lalu bagaimana menyatukannya? Apakah 1 Syawwal mengikuti daerah yang sudah ada penampakan hilal atau harus tunggu sampai semua daerah sudah ada penampakan hilal? Apapun keputusannya hasil akhirnya akan bersifat “tanpa dasar yang logis” (arbitrary). Jangan heran kalau pendapat ulama, bahkan imam mazhab berbeda-beda. Menurut Imam Hanafi dan Maliki, kalender kamariah harus sama di dalam satu wilayah hukum suatu negara, inilah prinsip wilayatul hukmi. Sedangkan menurut Imam Hambali, kesamaan tanggal kamariah ini harus berlaku di seluruh dunia, di bagian bumi yang berada pada malam atau siang yang sama. Sementara itu, menurut Imam Syafi’i, kalender kamariah ini hanya berlaku di tempat-tempat yang berdekatan, sejauh jarak yang dinamakan mathla’. Inilah prinsip matlak madzhab Syafi’i.
Yang menarik adalah pendapat Ibn Abbas, salah satu ulama yang pernah hidup di masa Rasullulah. Riwayat Kuraib yang diceritakan oleh Muslim bahwa Khalifah Mu’awiyyah di Damaskus shaum/puasa pada hari Jumat sementara Ibnu Abbas di Madinah shaum/puasa pada hari Sabtu. Ketika Kuraib bertanya kepada Ibnu Abbas kenapa tidak berbarengan saja dengan Mu’awiyyah, Ibnu Abbas r.a. menjawab : “Tidak, beginilah Rasulullah saw, telah memerintahkan kepada kami”. Yang dimaksud oleh Ibnu Abbas tentu saja hadist nabi saw yang dikutip di atas. Padahal Damaskus dan Madinah waktu itu masih dalam satu wilayah hukum/satu kekhalifahan.
Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada ayat al-Quran atau hadist yang bisa dikatakan memenuhi persyaratan cukup untuk menunjang konsep prinsip kesatuan wilayatul hukmi Ada hadist yang kadang diajukan sebagai dalil untuk penerapan prinsip kesatuan wilayatul hukmi, yaitu:
Bahwa seorang Arab Baduwi datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata: “Saya telah melihat hilal (Ramadhan)”. Rasulullah saw. lalu bertanya: “Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah?” Orang itu menjawab,’Ya.’ Kemudian Nabi SAW menyerukan: “Berpuasalah kalian” (HR. Abu Dawud, An Nasa`i, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
Tetapi hadist ini tidak bisa memenuhi syarat cukup sebagai dasar argumen untuk penerapan prinsip kesatuan wilayatul hukmi. Dalam hadist ini tidak disebutkan adanya isu perbedaan zona penampakan hilal. Apakah orang badui ini melihatnya di tempat yang jauh dari Madinah (tempat tinggal rasullulah) yang memungkinkan adanya perbedaan zone penampakan hilal? Tidak ada penjelasan
Dengan kata lain, dasar hukum penggunaan prinsip kesatuan wilayatul hukmi tidak ada mempunyai persyaratan yang cukup. Para mazhab tidak punya kesamaan dan tidak diatur dalam hadist atau al-Quran.
Pertama harus diakui bahwa tidak benar cara hisab dan rukyat adalah isu utama dari perbedaan hasil penentuan 1 Syawwal.
Kedua harus diakui bahwa prinsip kesatuan wilayatul-hukmi adalah salah tempat dan salah applikasi. Prinsip kesatuan wilayatul-hukmi sebagai opini ulama, tidak bisa membatalkan hadist untuk menentukan akhir puasa (shaum) atau al-Quran untuk menentukan tanggal. Oleh sebab itu di Indonesia yang wilayahnya membentang sangat lebar (5,271 km) dan luas (1,919,440 km persegi) tidak mungkin selalu diberlakukan 1 hari Lebaran, tanpa melanggar juklak dari rasullulah (hadist nabi) dan pedoman al-Quran. Kadang-kadang Lebaran di Jakarta dan di Menado berbeda. Seperti halnya waktu sholat, waktu puasa dan Iedul Fitri tidak perlu sama untuk semua wilayah republik Indonesia. Jadi tahun ini ada dua wilayah Iedul Fitri di Indonesia, bukan dua Lebaran. Wilayah pertama adalah sebelah barat garis batas wujdul-hilal seperti kepulauan Tanibar, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat serta daerah-daerah di sebelah baratnya akan berhari Raya pada tanggal 12 Oktober 2007. Selebihnya dibagian timur akan berhari Raya pada tanggal 13 Oktober 2007).
Kesimpulan:
1. Di dalam kalender Islam terdapat garis tanggal wujudul hilal dan visibilitas hilal, yang dapat membelah bumi dengan posisi kemiringan tertentu. Sehingga selalu, dari batas garis wujudul hilal tersebut ke arah barat , kemungkinan melihat hilal semakin mungkin.
2. Garis tanggal pembeda di atas pada setiap bulan dalam penanggalan Islam akan berubah-ubah letak dan posisinya. Jadi, bisa saja membelah suatu negara yang sangat luas.
3. Seharusnya, dalam menentukan awal bulan, dalam hal ini penanggalan Islam, hendaknya saya mengusulkan agar, membuat DAFTAR KOTA-KOTA YANG SUDAH MASUK TANGGAL 1 ATAU BELUM. Misal:
-Daftar kota-kota di seluruh dunia yang sudah masuk tanggal 1 adalah:
Jakarta, Tanggerang, Pontianak, Padang, Medan, Aceh, Kuala Lumpur, Penang, Bangkok, New Delhi, Jeddah, Riyadh, Mekkah, Madinah, Kairo, London, dan seterusnya sampai ke barat sampai bertemu di titik garis wujudul hilal kembali>
-Daftar kota-kota di seluruh dunia yang belum masuk tanggal 1 adalah:
Bandung, Cirebon, Tasikmalaya, Garut, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Ujung Panjang, Jayapura, Tokyo, terus ke barat sampai bertemu di titik garis batas wujudul hilal tadi
Sehingga, saya atas nama ahli falaq mengusulkan kepada Pemerintah Republik Indonesia, Departemen Agama RI, agar jika garis tanggal Wujudul hilal dan visibilitas hilal melewati Negara Indonesia, maka harus dilakukan pembagian wilayah waktu tanggal, seperti disebutkan sebelumnya.
4. Tidak menjadi masalah dalam 1 negara terdapat 2 penanggalan yang berbeda . Tetapi dalam 1 kota diharuskan berada pada hari yang sama.
5. Berdasarkan garis wujudul hilal dan visibilitas hilal di atas, kota-kota yang belum dapat melihat hilal tadi pada Ghurub Maghrib di tempat terbitnya hilal pertama kali, secara ilmiyah, pasti besoknya pada Ghurub matahari hari berikutnya pasti hilal akan nampak juga.
6. HIZBUT TAHRIR, adalah salah. Jika kita akan menggunakan penanggalan apapun, pastinya harus ada garis tanggal yang membelah bumi menjadi 2 bagian yang berbada.
7. HIZBUT TAHRIR telah mencampur adukkan penanggalan Islam dengan penanggalan Masehi.
8. HIZBUT TAHRIR tidak memahami syarat-syarat penanggalan.
9. Dengan menggunakan dan mengetahui garis tanggal wujudul hilal, maka tidak akan mengalami kekacauan penanggalan.
10. Meskipun dunia telekomunikasi, internet, satelite, telah maju, sehingga seluruh dunia dapat menerima kabar hilal di suatu tempat, maka :
JANGAN MEMEBRIKAN INFORMASI MUNCULNYA HILAL DI SUATU KOTA KEPADA ORANG YANG BERADA DI SEBELAH TIMUR.
BERITAKANLAH KABAR MUNCULNYA HILAL KEPADA KOTA-KOTA YANG BERADA DI SEBELAH BARATNYA.
11. Bumi adalah bulat. Tidak Datar.
12. Jika tidak ada garis tanggal wujudul hilal dan visibilitas hilal, maka akan kacaulah penanggalan islam yang digunakan.
13. HIZBUT TAHRIR TIDAK MEMAHAMI KAJIAN ILMIYAH ASTRONOMIS YANG ADA
14. Seperti halnya, jadwal sholat, yang mana setiap kota di seluruh Indonesia berbeda-beda. Di Jakarta, maghrib jam 18.00 WIB, sedangkan di Bandung maghrib jam 17.55 WIB. Di Jogja maghrib jam 17.46 WIB.
Jadi, dalam hal ini wujudul hilal sebagai pembelah bumi juga harus ada.
15. Dilema yang muncul bila sistem hilal global dipergunakan sebagai acuan adalah pada awal dan akhir ibadah shaum, di bagian timur garis pergantian bulan umat Islam akan berpuasa sebelum waktunya (hilal penentu awal shaum belum ada). Bila awal shaum menunggu pengamat bagian barat dapat melihat hilal, berarti sebagian umat Islam di sebelah timur akan memulai puasa selepas fajar subuh bahkan setelah terbit matahari. Sebaliknya bisa terjadi sebagian Muslim di barat memulainya selepas fajar subuh sehari sebelumnya, bila hilal telah berhasil diamati di bagian timur garis tanggal.
MATEMATIKAWAN, & PENGAMAT ASTRONOMI MUSLIM, ALBI FITRANSYAH,S.Si
SUMBER :http://ainuamri.wordpress.com/2008/01/01/larangan-takbir-bersama-sama-dengan-satu-suara/
Filed under: islami | Tagged: lebaran, TAKBIR | 2 Comments »