Fenomena Iedul-Fitri Kembar (Dalil Aqli vs Naqli)

Fenomena beda hari Iedul Fitri terus akan mengemuka setiap tahun. Hal ini disebabkan oleh penggunaan metode penentuan hilal sebagai tanda datangnya bulan baru yang berbeda. Muhammadiyyah dengan bangga menggunakan hisab murni untuk menentukan bulan baru. Sedang yang lain mempergunakan metode rukyah, sedang hisab hanya bersifat membantu saja.

Prof. DR Dien Syamsuddin dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa Muhammadiyyah mempergunakan dalil Qur’an, Sunnah dan Ilmu Falak, sehingga sudah bisa menentukan jauh hari sebelum datangnya Iedul Fitri. Dia juga menegaskan bahwa metode yang dipergunakan adalah rukyah bil-‘ilmi atau rukyah bil-fikri. Asal matahari, bulan dan bumi sudah segaris (ijtima’) di akhir bulan berjalan berarti secara teori hari berikutnya sudah masuk bulan baru. Berapapun umur hilal dan berapapun ketinggian di atas ufuk pada saat maghrib tidak menjadi masalah. Karena setelah ijtima’ akan lahir bulan baru. Tidak perlu dilihat oleh mata. Padahal Rasululllah saw bersabda: Summuu liru’yatihi wa-afthiruu liru’ yatihi…(Berpuasalah karena kamu melihat bulan dan berbukalah karena kamu melihat bulan…). Bahkan beliau menegaskan kalau terhalang dari melihat bulan maka kita diperintahkan untuk menggenapi bulan berjalan dengan 30 hari. Karena meninggalkan sunnah tersebut dan mengikuti hisab saja, maka dapat kita simpulkan bahwa Muhammadiyyah terjebak mengikuti akal atau DALIL AQLI. Sedang kelompok umat Islam yang lain masih teguh mempertahankan sunnah Rasulullah saw. Disamping mempergunakan hisab untuk menentukan kapan mereka harus melihat bulan, mereka tidak mau meninggalkan sunnah Rasulullah saw di atas. Mereka melakukan konfirmasi visual dari teori Falak yang mereka pergunakan dengan melihat hilal langsung atau menggunakan alat bantu. Berbagai macam alat bantu mereka pergunakan seperti teropong dan teropong bintang yang dilengkapi kamera dan alat perekam audio visual. Islam adalah agama amal bukan agama teori. Mereka menindak-lanjuti teori hisab dalam menentukan datangnya bulan baru dengan melihat hilal. Kelompok kedua ini sebenarnya juga sudah bisa menentukan jauh hari sebelum datangnya bulan baru, tetapi mereka tetap mendahulukan sunnah Rasul dalam melakukan konfirmasi visual tersebut. Rasulullah saw telah menentukan batas bulan baru bukan pada terbentuknya hilal (wujudul-hilal), tetapi pada terlihatnya hilal (ru’yatul-hilal) secara visual. Kalau terbentuk belum tentu terlihat, sedang kalau terlihat sudah pasti terbentuk. Maka mereka yang menentukan batasan bulan baru dengan mengikuti ru’yatul hilal. Hal ini berarti mereka telah mengikuti sunnah Rasul atau mengikuti DALIL NAQLI. Nah, dengan demikian menjadi jelas sekarang siapa yang mengikuti sunnah dengan menomor-duakan akal. Begitu pula sudah jelas siapa yang mendahulukan akal dengan menomor-duakan sunnah. Andai kita semua kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah atau mendahulukan Dalil Naqli daripada Dalil Aqli, maka tidaklah akan muncul DUA HARI RAYA IED. Semoga Allah beri kemudahan dan kelapangan dada kepada kita semua untuk ruju’ ilal-haq, amin.